Rabu, 14 September 2011

Nilai TOEFL dan Moral Akademik

PERKEMBANGAN zaman serta ilmu pengetahuan dan terknologi menuntut penguasaan berbagai bahasa asing agar mampu menguak jendela dunia. Salah satu bahasa asing yang diperlukan sebagai komunikasi global adalah bahasa Inggris. Tentu perlu pula penguasaan bahasa asing lain, seperti bahasa Jerman, Jepang, Mandarin dan yang lainnya.

Penguasaan bahasa asing secara sempurna seperti penutur aslinya merupakan dambaan bagi setiap pembelajar bahasa asing. Namun demikian untuk mencapai taraf tersebut perlu usaha, kerja keras, dan proses belajar yang tidak instan. Pembelajar wajib menguasai empat keterampilan berbahasa secara
mumpuni; membaca, menyimak, berbicara, dan menulis. Selain itu berbagai tes kemampuan berbahasa yang berstandar seperti bahasa sang penutur asli juga dilakukan.

Selama ini TOEFL (Test of English as a Foreign Language) merupakan tes kemampuan berbahasa yang paling dikenal untuk mengukur kemampuan seseorang dalam menggunakan atau berbahasa Inggris menurut ukuran standar yang telah dibakukan. Standar tersebut sejenis dengan tes kemampuan
bahasa asing lainnya, seperti Zids (Zertifikat für Indonesische Deutsch-Studenten) bagi pembelajar bahasa Jerman di Indonesia dan Noryoku Shiken untuk pembelajar bahasa Jepang dan mungkin ada istilahistilah lain untuk tes kemampuan berbahasa bagi bahasa asing lainnya.

Nah, bicara tentang TOEFL sendiri, tes yang satu ini menjadi bagian sangat penting dan tak terpisahkan dari proses belajar di perguruan tinggi. Tes ini dimaksudkan untuk mengukur kemampuan bagi pembelajar bahasa Inggris (non native speaker) baik dalam keterampilan berbicara, menyimak, membaca, dan
menulis plus penguasaan gramatik yang baik di dalamnya.

Bagi pembelajar yang menempuh kuliah di luar negeri misalnya, tes ini digunakan untuk masuk perguruan tinggi bagi calon siswa atau pendaftar yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris. Tes ini juga diperlukan untuk persyaratan masuk kuliah pada hampir semua universitas di Amerika Serikat dan Kanada baik untuk program undergraduate (S-1) maupun graduate (S-2 atau S-3).

Hasil tes TOEFL ini juga dipakai sebagai bahan pertimbangan mengukur kemampuan bahasa Inggris bagi calon mahasiswa yang mendaftar ke universitas di negara lain, termasuk universitas di Eropa dan Australia.

Bagi pembelajar di perguruan tinggi dalam negeri (Indonesia) pun, tes ini juga menjadi prasyarat untuk masuk jenjang pendidikan, baik S-2 maupun S-3. Bahkan, pada jenjang S-1, tes ini juga diwajibkan untuk ditempuh oleh setiap mahasiswa dengan skor yang ditetapkan perguruan tinggi masing masing sebagai syarat kelulusan. Bahkan tes ini juga digunakan untuk persyaratan menempuh mata kuliah tertentu, misalnya untuk mahasiswa pemprogram skripsi. Seperti di Prodi Pendiddikan Bahasa Jerman dan Sastra Jerman Unesa, tes ini wajib ditempuh setiap mahasiswa agar dapat lolos mengikuti ujian skripsi.

Tes kemampuan berbahasa ini sangat penting, karena manfaatnya sangat besar bagi kelangsungan dan kelancaran studi pembelajar di perguruan tinggi, seperti di Unesa. Meski demikian tidaklah mudah bagi pembelajar memenuhi pencapaian skor tertentu untuk memenuhi syarat yang ditetapkan tersebut, terutama bagi pembelajar non Jurusan Bahasa Inggris. Apalagi selama ini mata kuliah bahasa Inggris (MKDU) di perkuliahan reguler Program Studi non Bahasa Inggris diberikan dengan SKS yang minim. Hal itu semakin diperumit oleh ketidaksamaan kemampuan berbahasa Inggris pembelajar ketika memasuki studi di perguruan tinggi. Memang sih banyak pembelajar yang ketika masuk Unesa sudah memiliki bekal bahasa Inggris yang cukup baik perolehan dari jenjang pendidikan sebelumnya (SMA), tapi tidak sedikit pula bekal bahasa Inggris mereka pas-pasan sekali, sehingga perlu menempuh pembelajaran khusus
agar dapat lulus tes kemampuan berbahasa yang disyaratkan tersebut di atas.

Bagi mahasiswa (non Prodi Bahasa Inggris) yang kadar kemampuan bahasa Inggris-nya minim, tes kemampuan berbahasa Inggris ini ternyata dianggap sebagai momok yang menakutkan. Apalagi di tengah tuntutan harus lulus tepat waktu, akhirnya memunculkan spekulasi dan upaya mendapatkan nilai TOEFL
melalui cara yang tidak dibenarkan. Mungkin inilah yang tampaknya kemudian dimanfaatkan oleh mereka yang berniat tidak fair untuk menyiasati dan mengambil keuntungan pribadi dengan menempuh jalur yang salah, semisal dengan jual-beli sertifikat TOEFL.

Namun demikian, tampaknya upaya ’negatif’ mereka yang hendak mencederai nuansa akademis itu perlu dicermati lebih serius lagi, agar hal buruk itu tidak lagi terulang. Caranya ialah dengan lebih meningkatkan kualitas moral akademik secara menyeluruh di lingkungan akademis kita. Artinya dosen, mahasiswa, dan karyawan harus menjalankan kewajibannya dengan penuh tanggung jawab. Upaya ini setidaknya dapat menjadi filter dasar agar upaya manipulatif seperti yang dilakukan pihak-pihak tidak bertanggung jawab itu tidak terjadi lagi. Dengan kualitas moral akademis yang baik, pemalsuan nilai (termasuk di dalamnya TOEFL), plagiat dan lainnya dapat diminimalisir dan bahkan dimusnahkan dari lingkungan akademis kita, Unesa tercinta. Semoga......

* Dwi Imroatu Julaikah, S.Pd., M.Pd adalah dosen di Program Studi Pendidikan Bahasa Jerman dan Sastra Jerman Unesa. Artikel ini dimuat di MAJALAH UNESA Nomor 44 Tahun XII - 2011.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | coupon codes