Selasa, 28 Februari 2012

Jumat, 24 Februari 2012

Proses Pembentukan Karakter Pada Anak

Suatu hari seorang anak laki-laki sedang memperhatikan sebuah kepompong, eh ternyata di dalamnya ada kupu-kupu yang sedang berjuang untuk melepaskan diri dari dalam kepompong. Kelihatannya begitu sulitnya, kemudian si anak laki-laki tersebut merasa kasihan pada kupu-kupu itu dan berpikir cara untuk membantu si kupu-kupu agar bisa keluar dengan mudah. Akhirnya si anak laki-laki tadi menemukan ide dan segera mengambil gunting dan membantu memotong kepompong agar kupu-kupu bisa segera keluar dr sana. Alangkah senang dan leganya si anak laki laki tersebut.Tetapi apa yang terjadi? Si kupu-kupu memang bisa keluar dari sana. Tetapi kupu-kupu tersebut tidak dapat terbang, hanya dapat merayap. Apa sebabnya?
Ternyata bagi seekor kupu-kupu yang sedang berjuang dari kepompongnya tersebut, yang mana pada saat dia mengerahkan seluruh tenaganya, ada suatu cairan didalam tubuhnya yang mengalir dengan kuat ke seluruh tubuhnya yang membuat sayapnya bisa mengembang sehingga ia dapat terbang, tetapi karena tidak ada lagi perjuangan tersebut maka sayapnya tidak dapat mengembang sehingga jadilah ia seekor kupu-kupu yang hanya dapat merayap.
Itulah potret singkat tentang pembentukan karakter, akan terasa jelas dengan memahami contoh kupu-kupu tersebut. Seringkali orangtua dan guru, lupa akan hal ini. Bisa saja mereka tidak mau repot, atau kasihan pada anak. Kadangkala Good Intention atau niat baik kita belum tentu menghasilkan sesuatu yang baik. Sama seperti pada saat kita mengajar anak kita. Kadangkala kita sering membantu mereka karena kasihan atau rasa sayang, tapi sebenarnya malah membuat mereka tidak mandiri. Membuat potensi dalam dirinya tidak berkembang. Memandulkan kreativitasnya, karena kita tidak tega melihat mereka mengalami kesulitan, yang sebenarnya jika mereka berhasil melewatinya justru menjadi kuat dan berkarakter.
Ada satu anekdot yang sering saya sampaikan pada rekan saya, ataupun peserta seminar. Enak mana makan mie instant dengan mie goreng seafood? Umumnya mereka yang suka mie pasti tahu jika mie goreng seafood jauh lebih enak dari mie goreng instant yang hanya bisa dimasak tidak kurang dari 3 menit. Apa yang membedakan enak atau tidaknya dari masakan mie tersebut? Prosesnya!
Sama halnya bagi pembentukan karakter seorang anak, memang butuh waktu dan komitmen dari orangtua dan sekolah atau guru (jika memprioritaskan hal ini) untuk mendidik anak menjadi pribadi yang berkarakter. Butuh upaya, waktu dan cinta dari lingkungan yang merupakan tempat dia bertumbuh, cinta disini jangan disalah artikan memanjakan. Jika kita taat dengan proses ini maka dampaknya bukan ke anak kita, kepada kitapun berdampak positif, paling tidak karakter sabar, toleransi, mampu memahami masalah dari sudut pandang yang berbeda, disiplin dan memiliki integritas (ucapan dan tindakan sama) terpancar di diri kita sebagai orangtua ataupun guru. Hebatnya, proses ini mengerjakan pekerjaan baik bagi orangtua,guru dan anak jika kita komitmen pada proses pembentukan karakter.
Pada awal pembentukan karakter banyak orangtua dan guru bertanya tentang bagaimana mendisiplinkan anak. Ada 6 proses disiplin yang kami bagikan melalui ebook gratis 6 Cara Mendisiplinkan Anak, bagi anda yang belum memiliki ebook ini silahkan di download gratis disini.
Nah, apakah disiplin saja cukup? Bagaimana dengan proses membentuk karakter yang lain? Pada 1 Desember 2011 kemarin, kami menerbitkan ebook 7 Hari Membentuk Karakter Anak. Di ebook ini akan diungkap hal-hal yang sangat jarang diketahui oleh para orangtua dan guru, tentang bagaimana mendidik anak agar tumbuh bahagia dan berkarakter. Disamping itu bukan hanya anak tetapi ebook ini juga memberikan pengarahan bagi orangtua dan guru agar sadar membentuk karakter mereka secaramandiri.
Kembali ke pembentukan karakter, ingat segala sesuatu butuh proses. Mau jadi jelek pun butuh proses. Anak yang nakal itu juga anak yang disiplin lho. Tidak percaya? Dia disiplin untuk bersikap nakal. Dia tidak mau mandi tepat waktu, bangun pagi selalu telat, selalu konsisten untuk tidak mengerjakan tugas dan wajib tidak menggunakan seragam lengkap.
Ada satu kunci untuk menanamkan kebiasaan, ada hukumnya dan hukum itu bernama hukum 21 hari, dalam pembentukan karakter erat kaitannya dengan menciptakan kebiasaan yang baru yang positif. Dan kebiasaan akan tertanam kuat dalam pikiran manusia setelah diulang setiap hari selama 21 hari. Misalnya Anda biasakan anak sehabis bangun tidur untuk membersihkan tempat tidurnya, mungkin Anda akan selalu mengingatkan dan mengawasi dengan kasih sayang (wajib, dengan kasih sayang) selama 21 hari. Tetapi setelah lewat 21 hari maka kebiasaan itu akan terbentuk dengan otomatis. Nah, kini kebiasaan positif apa yang hendak anda tanamkan kepada anak, pasangan dan diri Anda? Anda sudah tahu caranya dan tinggal melakukan saja. Sukses dalam karakter yang terus diperbarui.
sumber: http://www.pendidikankarakter.com/proses-pembentukan-karakter-pada-anak/

Gallery Photo

Suasana perkuliahan para mahasiswa Unesa.
Gedung rektorat Unesa di Kampus Ketintang Surabaya.
Gerbang Unesa, Kampus Lidah Wetan Surabaya di sore hari.


Rabu, 14 September 2011

Jadwal Perkuliahan Semester Gasal 2011-2012

Pada semester gasal 2011-2012 ini, saya mengampu mata kuliah antara lain:
- Media Pendidikan (Angkatan 2010 - Jumat, Jam ke: 3-4)
- Perencanaan Pengajaran (Angkatan 2009 - Senin Jam: 5-6, 7-8)
- Perhotelan (Angkatan 2008 - Kamis Jam ke: 5-6, 7-8)
- Deutsch - 1 (Angkatan 2010 - Rabu, Jam ke: 5-6, 7-8)

Semua mahasiswa yang memprogram perkuliahan di atas harus menaati kontrak perkuliahan yang telah dibuat pada awal smester.

Selamat belajar,

Dwi Imroatu J.

Nilai TOEFL dan Moral Akademik

PERKEMBANGAN zaman serta ilmu pengetahuan dan terknologi menuntut penguasaan berbagai bahasa asing agar mampu menguak jendela dunia. Salah satu bahasa asing yang diperlukan sebagai komunikasi global adalah bahasa Inggris. Tentu perlu pula penguasaan bahasa asing lain, seperti bahasa Jerman, Jepang, Mandarin dan yang lainnya.

Penguasaan bahasa asing secara sempurna seperti penutur aslinya merupakan dambaan bagi setiap pembelajar bahasa asing. Namun demikian untuk mencapai taraf tersebut perlu usaha, kerja keras, dan proses belajar yang tidak instan. Pembelajar wajib menguasai empat keterampilan berbahasa secara
mumpuni; membaca, menyimak, berbicara, dan menulis. Selain itu berbagai tes kemampuan berbahasa yang berstandar seperti bahasa sang penutur asli juga dilakukan.

Selama ini TOEFL (Test of English as a Foreign Language) merupakan tes kemampuan berbahasa yang paling dikenal untuk mengukur kemampuan seseorang dalam menggunakan atau berbahasa Inggris menurut ukuran standar yang telah dibakukan. Standar tersebut sejenis dengan tes kemampuan
bahasa asing lainnya, seperti Zids (Zertifikat für Indonesische Deutsch-Studenten) bagi pembelajar bahasa Jerman di Indonesia dan Noryoku Shiken untuk pembelajar bahasa Jepang dan mungkin ada istilahistilah lain untuk tes kemampuan berbahasa bagi bahasa asing lainnya.

Nah, bicara tentang TOEFL sendiri, tes yang satu ini menjadi bagian sangat penting dan tak terpisahkan dari proses belajar di perguruan tinggi. Tes ini dimaksudkan untuk mengukur kemampuan bagi pembelajar bahasa Inggris (non native speaker) baik dalam keterampilan berbicara, menyimak, membaca, dan
menulis plus penguasaan gramatik yang baik di dalamnya.

Bagi pembelajar yang menempuh kuliah di luar negeri misalnya, tes ini digunakan untuk masuk perguruan tinggi bagi calon siswa atau pendaftar yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris. Tes ini juga diperlukan untuk persyaratan masuk kuliah pada hampir semua universitas di Amerika Serikat dan Kanada baik untuk program undergraduate (S-1) maupun graduate (S-2 atau S-3).

Hasil tes TOEFL ini juga dipakai sebagai bahan pertimbangan mengukur kemampuan bahasa Inggris bagi calon mahasiswa yang mendaftar ke universitas di negara lain, termasuk universitas di Eropa dan Australia.

Bagi pembelajar di perguruan tinggi dalam negeri (Indonesia) pun, tes ini juga menjadi prasyarat untuk masuk jenjang pendidikan, baik S-2 maupun S-3. Bahkan, pada jenjang S-1, tes ini juga diwajibkan untuk ditempuh oleh setiap mahasiswa dengan skor yang ditetapkan perguruan tinggi masing masing sebagai syarat kelulusan. Bahkan tes ini juga digunakan untuk persyaratan menempuh mata kuliah tertentu, misalnya untuk mahasiswa pemprogram skripsi. Seperti di Prodi Pendiddikan Bahasa Jerman dan Sastra Jerman Unesa, tes ini wajib ditempuh setiap mahasiswa agar dapat lolos mengikuti ujian skripsi.

Tes kemampuan berbahasa ini sangat penting, karena manfaatnya sangat besar bagi kelangsungan dan kelancaran studi pembelajar di perguruan tinggi, seperti di Unesa. Meski demikian tidaklah mudah bagi pembelajar memenuhi pencapaian skor tertentu untuk memenuhi syarat yang ditetapkan tersebut, terutama bagi pembelajar non Jurusan Bahasa Inggris. Apalagi selama ini mata kuliah bahasa Inggris (MKDU) di perkuliahan reguler Program Studi non Bahasa Inggris diberikan dengan SKS yang minim. Hal itu semakin diperumit oleh ketidaksamaan kemampuan berbahasa Inggris pembelajar ketika memasuki studi di perguruan tinggi. Memang sih banyak pembelajar yang ketika masuk Unesa sudah memiliki bekal bahasa Inggris yang cukup baik perolehan dari jenjang pendidikan sebelumnya (SMA), tapi tidak sedikit pula bekal bahasa Inggris mereka pas-pasan sekali, sehingga perlu menempuh pembelajaran khusus
agar dapat lulus tes kemampuan berbahasa yang disyaratkan tersebut di atas.

Bagi mahasiswa (non Prodi Bahasa Inggris) yang kadar kemampuan bahasa Inggris-nya minim, tes kemampuan berbahasa Inggris ini ternyata dianggap sebagai momok yang menakutkan. Apalagi di tengah tuntutan harus lulus tepat waktu, akhirnya memunculkan spekulasi dan upaya mendapatkan nilai TOEFL
melalui cara yang tidak dibenarkan. Mungkin inilah yang tampaknya kemudian dimanfaatkan oleh mereka yang berniat tidak fair untuk menyiasati dan mengambil keuntungan pribadi dengan menempuh jalur yang salah, semisal dengan jual-beli sertifikat TOEFL.

Namun demikian, tampaknya upaya ’negatif’ mereka yang hendak mencederai nuansa akademis itu perlu dicermati lebih serius lagi, agar hal buruk itu tidak lagi terulang. Caranya ialah dengan lebih meningkatkan kualitas moral akademik secara menyeluruh di lingkungan akademis kita. Artinya dosen, mahasiswa, dan karyawan harus menjalankan kewajibannya dengan penuh tanggung jawab. Upaya ini setidaknya dapat menjadi filter dasar agar upaya manipulatif seperti yang dilakukan pihak-pihak tidak bertanggung jawab itu tidak terjadi lagi. Dengan kualitas moral akademis yang baik, pemalsuan nilai (termasuk di dalamnya TOEFL), plagiat dan lainnya dapat diminimalisir dan bahkan dimusnahkan dari lingkungan akademis kita, Unesa tercinta. Semoga......

* Dwi Imroatu Julaikah, S.Pd., M.Pd adalah dosen di Program Studi Pendidikan Bahasa Jerman dan Sastra Jerman Unesa. Artikel ini dimuat di MAJALAH UNESA Nomor 44 Tahun XII - 2011.

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | coupon codes